
Berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM) tidak lepas dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai
konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha
Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader.
Selain itu, situasi dan kondisi politik
di Indonesia tahun 60-an yaitu pada masa berjayanya orde lama dan PKI,
Muhammadiyah mendapat tantangan yang sangat berat untuk menegakkan dan
menjalankan misinya. Oleh karena itu, IPM terpanggil untuk mendukung
misi Muhammadiyah serta menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna
perjuangan Muhammadiyah. Dengan demikian, kelahiran IPM mempunyai dua
nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM) tidak lepas dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar sekaligus
sebagai konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha
Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Selain itu, situasi dan
kondisi politik di Indonesia tahun 60-an yaitu pada masa berjayanya orde
lama dan PKI, Muhammadiyah mendapat tantangan yang sangat berat untuk
menegakkan dan menjalankan misinya. Oleh karena itu, IPM
terpanggil untuk mendukung misi Muhammadiyah serta menjadi
pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan Muhammadiyah. Dengan
demikian, kelahiran IPM mempunyai dua nilai strategis. Pertama, IPM
sebagai aksentuator gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan
pelajar. Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat
membawa misi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Keinginan dan upaya para pelajar untuk
membentuk organisasi pelajar Muhammadiyah sebenarnya telah dirintis
sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu ada halangan dan rintangan dari
berbagai pihak, sehingga baru mendapatkan titik terang ketika Konferensi Pemuda Muhammadiyah (PM) pada tahun 1958 di Garut.
Organisasi pelajar Muhammadiyah akan ditempatkan di bawah pengawasan
PM. Keputusan konferensi tersebut diperkuat pada Muktamar PM II yang
berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta, yakni dengan memutuskan untuk
membentuk IPM (Keputusan II/ nomor 4).
Setelah ada kesepakatan antara Pimpinan
Pusat (PP) PM dan Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran pada
tanggal 15 Juni 1961, ditandatanganilah peraturan bersama tentang
organisasi IPM. Pendirian IPM tersebut dimatangkan secara nasional pada
Konferensi PM di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961. Sehingga pada
tanggal 5 Shafar 1381 H bertepatan dengan tanggal 18 Juli 1961 M
ditetapkan sebagai hari kelahiran IPM dengan Ketua Umum Herman Helmi
Farid Ma’ruf dan Sekretaris Umum Muh. Wirsyam Hasan. Akhirnya, IPM
menjadi salah satu organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang bergerak
di bidang dakwah dan kaderisasi di kalangan pelajar Muhammadiyah.
Pada Konferensi Pimpinan Pusat
(Konpiwil) IPM tahun 1992 di Yogyakarta, Menpora Akbar Tanjung secara
implisit menyampaikan kebijakan pemerintah pada IPM untuk melakukan
penyesuaian tubuh organisasi. PP IPM diminta Depdagri mengisi formulir
direktori organisasi disertai catatan agar pada waktu pengembalian
formulir tersebut nama IPM telah berubah. Tim eksistensi PP IPM yang
bertugas membahas masalah ini, melakukan pembicaraan secara intensif.
Akhirnya diputuskan perubahan nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi
Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), dengan pertimbangan:
- keberadaan pelajar sebagai kader persyarikatan, umat dan bangsa selama ini belum mendapat perhatian sepenuhnya dari persyarikatan Muhammadiyah;
- perlunya pengembangan jangkauan IPM;
- adanya kebijakan pemerintah RI tentang tidak diperbolehkannya penggunaan kata pelajar untuk organisasi berskala nasional.
Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) PP IPM nomor VI/PP.IPM/1992
yang selanjutnya disahkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 22 Jumadil Awwal
1413 H bertepatan dengan 18 November 1992 M tentang pergantian nama
Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan
demikian secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18
November 1992.
Seiring perkembangan organisasi IRM,
muncul berbagai reaksi dari tubuh persyarikatan bahwa IRM dinilai kurang
fokus terhadap pembinaan pelajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Maka, Tanwir Muhammadiyah tahun 2007 merekomendasikan IRM untuk berubah
kembali menjadi IPM.
Pembahasan mengenai basis masa dan lokus
gerakan sebenarnya sudah mengemuka sejak Muktamar IRM ke-14 di Lampung.
Pada Muktamar IRM ke-15 pun, mengamanatkan untuk membentuk tim
eksistensi yang bertugas untuk membahas masalah ini. Tim eksistensi PP
IPM juga meminta saran pendapat dari PP Muhammadiyah dan ortom-ortom di
dalamnya.
Tak lama kemudian, PP Muhammadiyah mengeluarkan SK nomor 60/KEP/I.0/B/2007 tertanggal 7 Jumadil Awwal 1428 H bertepatan dengan 24 Mei 2007 M
tentang perubahan nomenklatur IRM menjadi IPM. Sehubungan dengan
munculnya berbagai reaksi terkait SK tersebut, PP IPM segera mengadakan
pleno diperluas dengan mengundang PP Muhammadiyah dan seluruh Pimpinan
Pusat (PW) IPM se-Indonesia. Setelah berdialog secara intensif, PP
Muhammadiyah mengeluarkan maklumat berkenaan dengan SK PP Muhammadiyah
nomor 60/KEP/I.0/B/2007 bahwasanya perubahan IRM menjadi IPM membutuhkan
proses. Maklumat ini berlaku efektif setelah Muktamar IRM XVI pada
tanggal 23-28 Oktober 2008 di Surakarta.
Muktamar IPM pertama setelah perubahan
dari IRM dilaksanakan pada tanggal 2-7 Juni 2010 di Bantul, DI.
Yogyakarta. Muktamar kali ini bertepatan dengan setengah Abad Ikatan
Pelajar Muhammadiyah. Dalam Muktamar ini dilaunching Gerakan Pelajar
Kreatif (GPK) yang merupakan turunan dari Gerakan Kritis Transformatif
(GKT).
Sejarah perkembangan IPM, sejak dari
kelahiran Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM) hingga kemudian terjadinya
perubahan nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) pada tahun 1992
dan kemudian berubah nama kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM) telah melalui proses yang panjang seiring dengan dinamika yang
berkembang di masyarakat baik dalam skala nasional maupun global. Hingga
saat ini IPM telah melampaui empat fase perkembangan, yaitu:
Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan idiologis
menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di
Indonesia dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan
terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya dalam persaingan kekuasaan di
lembaga pemerintah, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka
sudah menjadi kewajaran bila pada saat awal keberadaannya IPM banyak
terfokus pada upaya untuk mengkonsolidasikan dan menggalang kesatuan
Pelajar Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia dalam wadah IPM.
Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader
dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai
dapat terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah Perjuangan IPM,
Identitas IPM, dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah
Nasional/Muktamar ke-2 di Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM
diakhiri pada tahun 1976 yaitu dengan keberhasilan IPM merumuskan Sistem
Pengkaderan IPM (SPI) hasil Seminar Tomang tahun 1976 di Jakarta.
Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka semakin terwujudlah
bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata sebagai organiasai
kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan Muhammadiyah.
IPM memasuki fase penataan ketika bangsa Indonesia tengah bersemangat
mencanangkan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dan memandang bahwa
gegap gempita persaingan ideologi dan politik harus segera diakhiri jika
bangsa Indonesia ingin memajukan dirinya. Situasi pada saat itu
menghendaki adanya monoloyalitas dalam berbangsa dan bernegara dengan
mengedepankan stabilitas nasional sebagai syarat pembangunan yang tidak
bisa ditawar lagi. Dalam keadaan seperti ini menjadikan
organisasi-organisasi yang berdiri sejak masa sebelum Orde Baru harus
dapat menysuaikan diri. Salah satu kebijakan pemerintah yang kemudian
berimbas bagi IPM adalah tentang ketentuan OSIS sebagai satu-satunya
organisasi pelajar yang eksis di sekolah. Keadaan ini menyebabkan IPM
mengalami kendala dalam mengembangkan keberadaannya secara lebih leluasa
dan terbuka. Agenda Permasalahan IPM yang membutuhkan perhatian khusus
untuk segera dipecahkan pada waktu adalah tentang keberadaan IPM secara
nasional yang dipermasalahkan oleh pemerintah karena OSIS lah
satusatunya organisasi pelajar yang diakui eksistensinya di sekolah.
Konsekwensinya semua organisasi yang menggunakan kata-kata pelajar harus
diganti dengan nama lain. Pada awalnya IPM dan beberapa organiasasi
pelajar sejenis berusaha tetap konsisten dengan nama pelajar dengan
berharap ada peninjauan kembali kebijaksanaan pemerintah tersebut pada
masa mendatang. Namun konsistensi itu ternyata membawa dampak kerugian
yang tidak sedikit bagi IPM karena kemudian kegiatan IPM secara nasional
seringkali mengalami hambatan dan kesulitan penyelenggaraannya.
Disamping itu beberapa organisasi pelajar yang lain yang senasib dengan
IPM satu-persatu mulai menyesuaikan diri, sehingga IPM merasa sendirian
memperjuangkan konsistensinya. Pada sisi lain IPM merasa perlu untuk
segera memperbaharui visi dan orientasi serta mengembangkan gerak
organisasi secara lebih luas dari ruang lingkup kepelajaran memasuki ke
dunia keremajaan sebagai tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Maka
tanggal 18 November 1992 berdasarkan SK PP Muhammadiyah No. 53/SK-PP/
IV.B/1.b/1992 Ikatan Pelajar Muhammadiyah secara resmi berubah menjadi
Ikatan Remaja Muhammadiyah.
Perubahan nama IPM menjadi IRM beriringan dengan situasi bangsa
Indonesia tengah menyelesaikan PJPT I (Pembangunan Jangka Pendek Tahun
I) dan akan memasuki PJPT II. Banyak kemajuan yang telah diperoleh
bangsa Indonesia sebagai hasi PJPT I, diantaranya adalah pertumbuhan
ekonomi yang semakin baik dan pesat, stabilitas nasional yang semakin
mantap, dan tingkat pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat
semakin baik. Namun demikian ada beberapa pekerjaan rumah yang harus
segera diselesaikan bangsa Indonesia pada PJPT II antara lain: masalah
pemerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi, demokratisasi,
ketertinggalan di bidang IPTEK, permasalahan sumber daya manusia, dan
penegakan hukum dan kedisiplinan. Sementara itu, era 90-an ditandai
dengan semakin maraknya kesadaran ber-Islam diberbagai kalangan
masyarakat muslim di Indonesia. Di samping itu peran dan partisipasi
ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga semakin
meningkat. Kondisi yang demikian memberi peluang bagi IRM untuk dapat
berkiprah lebih baik lagi. Pada sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi semakin membawa manusia ke arah globalisasi yang membawa
banyak perubahan pada berbagai sisi kehidupan manusia. Tatanan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi banyak mengalami perombakan drastis. Salah
satu perubahan mendasar yang akan banyak membawa pengaruh bagi bangsa
Indonesia adalah masalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi
sebagaimana telah diputuskan dalam konferensi APEC merupakan kebijakan
yang tidak terelakkan karena mulai tahun 2003 mendatang Indonesia harus
memasuki era AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dilanjutkan pada tahun
2020 dalam skema liberalisasi perdagangan yang lebih luas di Asia
Psifik. Pengaruh liberalisasi ekonomi ini akan berdampak luas tidak
hanya dalam aspek ekonomi saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial,
politik, dan budaya. Salah satu dampak yang sekarang sangat dirasakan
adalah munculnya krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan
sebagian Asia Timur. Munculnya krisis yang dimulai dengan timbulnya
depresi mata uang, disebabkan oleh ketidakpastian perangkat
suprastruktur dan infrastruktur baik ekonomi maupun politik dalam
mengantisipasi dampak globalisasi perdagangan. Fenomena ini kemudian
memunculkan tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan politik sebagai
prasyarat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan krisis. Di
Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena krisis dan menderita
paling parah juga muncul tuntutan reformasi. Fenomena reformasi yang
dituntut masyarakat Indonesia adalah reformasi yang mendasar diseluruh
bidang baik di bidang ekonomi, budaya, politik bahkan sampai reformasi
moral. Tuntutan reformasi ini jelas mendesak IRM untuk melakukan peran
dan fungsinya sebagai organisasi keagamaan dan dakwah Islam dikalangan
remaja menjadi lebih aktif dan responsif terhadap perkembangan
perjalanan bangsa menuju masyarakat dan pemerintahan yang bersih dan
modern. Dalam kondisi yang demikianlah IRM memasuki fase pengembangan,
yaitu perkembangan pasca perubahan nama IPM menjadi IRM hingga
terselenggaranya pelaksanaan pola kebijakan jangka panjang IRM pada
Muktamar XII. Diharapkan nantinya IRM telah mencapai kondisi yang
relatif mantap baik secara mekanisme kepemimpinan maupun mekanisme
keorganisasian sehingga mampu secara optimal menjadi wahana penumbuhan
dan pengembangan potensi sumber daya remaja. Pengelolaan sumber daya
yang dimiliki Ikatan Remaja Muhammadiyah harus didukung dengan adanya
peningkatan kapasitas kualitas pemimpin, mekanisme kerja yang kondusif
yang seiring dengan kemajuan zaman, serta pemantapan dan pengembangan
gerak Ikatan Remaja Muhammadiyah yang berpandangan ke depan namun tetap
dijiwai oleh akhlak Mulia. IRM dituntut untuk dapat menyiapkan dasar
yang kokoh baik secara institusional maupun personal sehingga tercipta
komunitas yang kondusif bagi para remaja sehingga dapat menghadapi
setiap perkembangan zaman yang ada.
Pada fase ini, terhitung sejak delapan tahun sebelumnya dimana bangsa
Indonesia sedang ramai menyambut masa baru yang diharapkan dapat
melakukan perubahan bangsa yang lebih baik yaitu masa reformasi tahun
1998. Akan tetapi pada kenyataannya pasca reformasi hingga tahun 2006
yang telah dipimpin oleh tiga kepemimpinan presiden yang berbeda (Bpk.
Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bpk. Susilo Bambang
Yudhoyono), tidak kunjung membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa,
bahkan memunculkan penyakitpenyakit baru di negeri ini. Demikian juga
hingga saat ini, memasuki masa kepemimpinan “Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah menunjukkan
kesempurnaan hancurnya negeri ini, seperti yang banyak diungkapkan oleh
para ahli dan pakar, serta pengamat politik di Indonesia. Karena bangsa
ini sedang dipimpin oleh para pemimpin bangsa yang cenderung korup dan
senang menjual bangsanya ke negara asing atau bisa dikatakan
kepemimpinan bangsa yang tidak lagi memiliki karakter kepemimpinan yang
selalu siap membela rakyatnya, membawa rakyatnya kepada kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa. Hal ini dapat dilihat dari maraknya korupsi
disemua jenjang struktur pemerintahan yang ada, permainan politik yang
tidak mencerdaskan rakyat justru melakukan pembodohan pada masyarakat
dan masih banyak lagi persoalan bangsa yang melekat di negeri ini. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa bangsa ini sedang krisis disegala bidang,
bahkan krisis moral pemimpin bangsa. Dari sinilah IRM yang kemudian
kembali berubah nama menjadi IPM pada tahun 2008 dituntut untuk terus
berperan dalam melakukan gerakan dakwahnya, khususnya dikalangan
remaja/pelajar sebagai penerus estafeta kepemimpinan bangsa beberapa
tahun mendatang. Di tengah kondisi bangsa yang sedang krisis disegala
bidang dan dilanda banyaknya musibah atau bencana alam yang tidak
kunjung selesai pada tahun 2004-2009 (kepemimpinan presiden SBY) kala
itu. Di tubuh IRM-pun pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan, turut
merespon kondisi bangsa kala itu. Karena IRM sangatlah sadar sekali akan
gerakan sosial yang dilakukan berlandaskan pada nilainilai perjuangan
untuk melakukan suatu perubahan yang lebih baik, yang kemudian sangat
dikenal dengan Gerakan Kritis Transformatif (GKT)-nya. Akan tetapi
cenderung mengalami pergeseran pergerakan yang kemudian menjadi meluas
dan tidak lagi fokus terhadap bassis massa yang seharusnya menjadi
perhatian utama oleh IRM sebagai organisasi remaja/pelajar Muhammadiyah.
Oleh karena itulah, kemudian pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan
kembali menyuarakan agar IRM kembali berubah nama menjadi IPM dengan
beberapa alasan diantaranya; Masa Orde Baru telah runtuh, kini telah
lama memasuki masa reformasi dan sudah tidak ada lagi tekanan dari
pemerintah bahwa satu-satunya organisasi pelajar di sekolah hanyalah
OSIS, maka IPM dapat kembali ke bassis massanya secara riil yaitu
“pelajar”. Dan yang kedua, IRM harus kembali pada fokus gerakannya
sebagai bassis massa utama yaitu “pelajar”. Karena pelajar dan
pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam melakukan perubahan
bangsa yang lebih baik beberapa tahun kedepan. Meskipun kemudian belum
secara menyeluruh menemukan kesepemahaman atau kesepakatan bersama untuk
merubah nama IRM menjadi IPM, akan tetapi proses prubahan nama tersebut
telah berjalan, yang kemudian pada forum Muktamar tersebut memutuskan
untuk pembentukan tim eksistensi IRM. Hingga pada akhirnya gong
perubahan nama tersebut diperdengarkan lebih cepat sebelum kinerja tim
eksistensi dapat menghasilkan sesuatu yang matang untuk IRM/IPM kedepan.
Pada keputusan Tanwir Muhammadiyah pada tahun 2008 di Yogyakarta,
Muhammadiyah memutuskan perubahan nomenklatur IRM menjadi IPM kembali.
Hingga pada akhirnya pintu gerbang IPM-pun kembali terbuka, dan IRM
resmi kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI pada tahun 2008
di Solo. Kini IPM-pun kembali pada bassis massa dan fokus gerakannya
yaitu membela kaum pelajar dan memperjuangkan pendidikan yang lebih
baik, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itulah IPM
saat ini kembali ke sekolah (back to shcool), kembali memperjuangkan
hakekat pendidikan yang sesungguhnya, yang dapat menghasilkan “Insan
Indonesia yang cerdas dan kompetitif”, sesuai dengan visi pendidikan
nasional. Melalui berbagai macam pelatihan, seminar-seminar, workshop
dan lain sebagainya IPM melakukan proses penyadaran terhadap pelajar
akan peran serta fungsi pelajar sebagai obyek maupun subyek dari proses
pembelajaran dan perubahan. Serta melakukan proses pemberdayaan dan
pembelaan terhadap pelajar yang selama ini selalu saja dijadikan sebagai
obyek dari sistem yang tidak mencerdaskan, akan tetapi lebih kepada
pendeskriditan pelajar demi kepentingan sepihak atau kelompok tertentu.
Padahal disisi lain, seiring dengan perkembangan zaman yang ada, baik
dari segi teknologi, komunikasi atau ilmu pengetahuan pada umumnya
menjadi tantangan yang besar bagi pelajar. Menuntut para pelajar agar
dapat berjuang lebih keras lagi (kompetitif) dan kreatif dalam bertindak
dan menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi ummat dan bangsa.
Oleh karena itulah, hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi IPM
untuk merumuskan suatu rumusan gerakan IPM yang sesuai dengan tantangan
dan perkembangan zaman yang sedang dihadapi pelajar saat ini. Akhirnya
pada Muktamar XVII pada tahun 2010 di Yogyakarta kemarin, IPM kembali
mendeklarasikan satu gerakan yang saling terkait dengan gerakan-gerakan
IPM yang pernah ada sebelumnya. Gerakan tersebut dinamakan sebagai
“Gerakan Pelajar Kreatif”, yang kemudian melahirkan satu visi IPM satu
periode ini, hingga tahun 2012, yaitu “Menjadikan IPM sebagai Rumah
Kreatif Pelajar Indonesia”. Semoga IPM dapat mengimplementasikan gerakan
yang ada secara massif dan progressif, sehingga dapat mencapai visi IPM
yang telah dicanangkan dalam rangka mewujudkan “Pelajar Muslim yang
berilmu, berakhlak mulia dan terampil dalam rangka menegakkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”.
Sumber: ipm.or.id
0 comments