Oleh : velandani prakoso
Ketua Bidang Perkaderan 2013-2015
Dunia pendidikan kita memang tragis, banyak institusi pendidikan di negeri ini yang hanya menjadi alat reproduksi generasi gagal yang gamang menjawab tantangan zaman, tidak lain itulah hasil dari pendidikan yang hanya mendasarkan penilaian pada deretan angka-angka.
Menelisik lebih dalam adalah pada saat mendekati ujung tahun
pelajaran, yang mana para pelajar dari beribu sekolah menengah, bahkan juga
mulai dari sekolah dasar merasakan aliran darah yang semakin kencang, detak
jantung yang semakin cepat dan perasaan khawatir yang mencapai titik tertinggi.
Tidak hanya mereka, termasuk juga para orangtua akan mengalami hal
yang sama, bahkan bisa jadi serangannya akan menjadi lebih hebat disbanding
dengan yang dirasakan oleh anak-anaknya. Inilah dimana saatnya sekian tahun
proses pembelajaran ditentukan kelulusannya oleh ujian nasional yang
berlangsung hanya beberapa hari. Momentum yang sering kali dipersepsikan dengan
wajah tak ramah ini bernama ujian nasional.
Pada dasarnya memang bagus adanya ujian nasional diterapkan, yang
mungkin merupakan sebuah sarana yang dimaksudkan untuk memacu semangat belajar
siswa, sebuah medium untuk meningkatkan kualitas kelulusan siswa.
Benang merah mungkin dapat terakumulasi dari pendidikan dalam
perspektif politik, bahwa pendidikan itu sejatinya menghargai martabat dan
pandangan hidup pelajar, untuk itu pendidikan diadaptasikan terhadap pandangan
hidup dan kebutuhan pelajar serta masyaraktnya. Jika tidak, maka pendidikan tak
ubahnya dengan bentuk invasi cultural atau proses dehumanisasi, yang memaksa
pelajar dan masyarakat menjadi pasif dalam menerima bentuk pendidikan
pengajaran yang ditekankan dari luar.
Dengan begitu pendidikan selalu bergandengan tangan dengan
emansipasi politik. Jadi, ada pedagogi politik dan pedagogi emansipatoris, yang
membentuk pelajar menjadi warga Negara yang bertanggung jawab secara moral dan
susila. Untuk itu sebagai perwujudan bagaimana bentuk manifestasi politik dalam
wacana pendidikan di Indonesia, mislanya adalah pola dan sistem politik
pendidikannya telah diatur dalam UU No. 2 tahun 1989, yaitu:
- Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang selalu beriman, bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur
- Dengan memiliki pengetahuan, ketrampilam, kesehatan jasmani dan rohani
- Berkepribadian mantap, mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kepada kemasyarakatan dan kebangsaan di alam demokrasi
Pada kesempatan ini sengaja diketengahkan sebatas sistem pendidikan
di Negara dengan sistem politik demokrasi dan totaliter, dianggap kedua sistem
politik inilah yang paling ekstrim yang mewakili, sebenarnya masih banyak model
pendidikan di Negara-negara yang berpaham politik, misalnya bagiamana pendidikan
itu dilakukan di Negara komunis, otokratis, oligarkis, aristokartis, sampai
kepada sistem politik Negara militerisme. Hanya saja karena bahasan dalam essay
ini adalah bagaimana revitalisasi pelajar untuk pemajuan zaman, maka kedua
sistem politik dalam melihat bagaimana pendidikan itu dilakukan, dinilai dan
dapat dianggap telah mewakili dari gambaran sistem pendidikan di Indonesia saat
ini.
Namun sesungguhnya pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa
berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem social dimana
pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu, proses pendidikan sebagai proses
pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur social, yakni konteks
social yang menjadi penyebab atau menyumbangkan proses dehumanisasi dan
keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan.
Dalam era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan, bagaimana mengkaitkan konteks analisis isinya untuk dapat memahami globalisasi secara krits. Strategi umumnya para pendidik lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar para pelajar relevan terhadap formasi social yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya neoliberalisme dalam dunia pendidikan. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati justru untuk penyesuaian terhadap globalisasi, sementara itu jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi secara kritis dan bagaimana para pelajar dapat berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk dapat menemukan solusi alternative terhadap globalisasi, sehingga dapat mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidak adilan social di era globalisasi ini yang menimpa para pelajar khususnya.
Dalam era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan, bagaimana mengkaitkan konteks analisis isinya untuk dapat memahami globalisasi secara krits. Strategi umumnya para pendidik lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar para pelajar relevan terhadap formasi social yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya neoliberalisme dalam dunia pendidikan. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati justru untuk penyesuaian terhadap globalisasi, sementara itu jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi secara kritis dan bagaimana para pelajar dapat berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk dapat menemukan solusi alternative terhadap globalisasi, sehingga dapat mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidak adilan social di era globalisasi ini yang menimpa para pelajar khususnya.
Pada dasarnya perlu di setiap penyelenggaraan proses belajar secara
otonom dengan menentukan visi dan misi sesuai dengan perkembangan zaman,
bagaimana para pendidik memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidak
adailan social, serta bagaimana dapat diterjemahkan kesemua itu untuk mampu diterapkan dalam metodologi dalam
penyelenggaraan proses belajar. Persoalannya sekarang adalah
pada penyelenggaran proses belajar selalu ditemukan kelemahan sekaligus
kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak
termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan pelajar dalam
proses belajar sebgai subjek dan pusat kegiatan penyelenggaraan proses belajar
dan konstitusi utama proses belajar.
Oleh karena itu orientasi untuk setiap pelajar untuk
dapat mengahayati visi dan misi mereka, serta kesadaran kritis sangat
diperlukan jiaka akan meletakkan para pelajar sebgai subjek dan pemonitor
proses dan metode untuk transformasi sosial, tidak lain dan tidak bukan itu
semua demi pemajuan zaman yang dilakukan oleh para pelajar.
0 comments